About

Kamis, 21 November 2013

Kebudayaan Indonesia

Kekerabatan Dan Perkawinan Suku Baduy


Sebutan "Baduy" merupakan sebutan yang diberikan oleh penduduk luar kepada kelompok masyarakat tersebut, berawal dari sebutan para peneliti Belanda yang agaknya mempersamakan mereka dengan kelompok Arab Badawi yang merupakan masyarakat yang berpindah-pindah (nomaden). Kemungkinan lain adalah karena adanya Sungai Baduy dan Gunung Baduy yang ada di bagian utara dari wilayah tersebut. Mereka sendiri lebih suka menyebut diri sebagai urang Kanekes atau "orang Kanekes" sesuai dengan nama wilayah mereka, atau sebutan yang mengacu kepada nama kampung mereka seperti Urang Cibeo.

Dalam masyarakat Baduy ada pola atau sistem kekerabatan dalam lingkungan masyarakat Baduy. sistem kekerabatan masyarakat Baduy menitikberatkan pada wilayah tempat tinggal. Lokasi tempat tinggal masyarakat Baduy menandakan pada kedudukan mana terletak sebagai seorang keturunan para Batara. Hubungan kekerabatan bisa dilihat dari tiga sisi yaitu pertama, kampung Tangtu. Kedua, kampung Panamping. Ketiga, Pajaroan. Dalam hal itu, seluruh masyarakat Baduy menyatakan bahwa seluruh wilayah Desa Baduy adalah “Tangtu Teulu Jaro Tujuh” yang memiliki arti seluruh penduduk di wilayah Kanekes Baduy merupakan satu kerabat yang berasal dari satu nenek moyang. Adapun perbedaan itu terletak pada sisi generasi antara tua dan muda. Dalam kekerabatan orang Baduy, orang Cikeusik dianggap yang tertua, Cikertawana yang menengah dan Cibeo yang termuda.

Selain itu, dalam masyarakat Baduy sistem kekerabatan merujuk pada nama ibu (suku kata) contoh seorang ibu bernama Sarimin maka nama anak laki-lakinya adalah bisa Saripin, Sarpin¸ atau anak perempuannya Sartin. Cara  panggilan masyarakat Baduy terbilang unik,  seseorang memanggil kepada seseorang dengan nama anak. Contoh, ayah Mursyid karena nama anak laki-lakinya Mursyid jadi ia dipanggil ayah Mursyid padahal nama aslinya adalah Alim.

 


Perkembangan selanjutnya masyarakat Baduy dalam sistem perkawinan adalah sistem perkawinan Monogami. Seorang laki-laki Baduy tidak boleh beristri lebih dari seorang dan perkawinan Poligami merupakan suatu hal yang tabu. Selain itu, perkawinan anak laki-laki yang pertama (kakak) dari suatu garis keturunan dengan anak perempuan yang terakhir (adik) dari garis keturunan yang lain. Hal penting dalam sistem perkawinan masyarakat Baduy adalah seorang adik tidak boleh melangsungkan perkawinan sebelum kakaknya melangsungkan perkawinan (ngarunghal). Dalam prakteknya, masyarakat Baduy tidak terdapat perbedaan antara sepupu persamaan dan antarsepupu sehingga ada kecenderungan dalam perkawinan itu terjadi dalam keluarga yang paling dekat, dapat terjadi sampai dengan sepupu tingkat keempat. istilah Orang Baduy menyebut dengan baraya.

 


 Dalam sistem perkawinan masyarakat Baduy tidak ada tradisi berhubungan sebelum menikah (pacaran). Pasangan akan langsung dijodohkan. Orang tua laki-laki akan bersilaturahmi kepada orang tua perempuan dan memperkenalkan kedua anak mereka masing-masing. Setelah ada kesepakatan, dilanjutkan dengan proses 3 kali pelamaran yaitu:

Tahap Pertama, orang tua laki-laki harus melapor ke Jaro (Kepala Kampung) dengan membawa daun sirih, buah pinang dan gambir secukupnya. 
Tahap kedua, selain membawa sirih, pinang, dan gambir, pelamaran kali ini dilengkapi dengan cincin yang terbuat dari baja putih sebagai mas kawinnya. 
Tahap ketiga, mempersiapkan alat-alat kebutuhan rumah tangga, baju serta seserahan pernikahan untuk pihak perempuan. Uniknya, dalam ketentuan adat, Orang Baduy tidak mengenal poligami dan perceraian. Mereka hanya diperbolehkan untuk menikah kembali jika salah satu dari mereka telah meninggal.
Pelaksanaan akad nikah dan resepsi bagi pasangan mempelai dilaksanakan di Balai Adat yang dipimpin oleh Pu’un untuk menyahkan pernikahan tersebut. Dalam ketentuan sistem perkawinan masyarakat Baduy tidak mengenal poligami dan perceraian.

Semua sistem yang ada di masyarakat Baduy termasuk sistem perkawinan berlandaskan “Pikukuh”, sebuah aturan yang sudah ada sejak leluhur masyarakat Baduy. “pikukuh” adalah aturan dan ajaran yang harus dijalankan oleh masyarakat Baduy. aturan tersebut mengatur mengenai apa saja yang diperbolehkan da apa saja yang dilarang. Peraturan ini juga mengatur tentang penyelenggaraan perkawinan yaitu pada bulan kelima, keenam dan ketujuh.

Selain itu, dalam urusan waris masyarakat Baduy menyatakan bahwa pembagian waris untuk anak laki-laki dan perempuan saja. Pembagian waris pada masyarakat Baduy terbagi rata antara anak perempuan dan anak laki-laki. Harta yang ditinggalkan berupa rumah, perhiasan, uang dan alat-alat rumah tangga lainnya. 





0 komentar:

Posting Komentar